RUMUSAN DISKUSI TERBATAS
PUSAT PENELITIAN PERKEBUNAN
GULA INDONESIA (P3GI)
SURABAYA, 24 SEPTEMBER 2013
“ANOMALI IKLIM 2013: DAMPAK
TERHADAP PENURUNAN
PRODUKSI GULA DAN UPAYA
ANTISIPASINYA”
Anomali
Iklim
Perubahan iklim yang ditandai hujan
berkepanjangan terjadi ketika sebagian besar Pabrik Gula (PG) memulai giling
pada Juni 2013. Hujan bahkan terus berlanjut hingga pertengahan Agustus,
sehingga sangat merugikan petani tebu dan PG. Dalam kedaan normal, memasuki
awal giling tebu biasanya hujan sudah reda dan kemarau mulai tiba.
Anomali hujan selama musim giling
tebu bukan kali ini saja terjadi. Hal serupa pernah dialami pada 2010.
Dampaknya tidak hanya terhadap penurunan produksi gula tahun berjalan, tetapi
berlanjut pada tahun berikutnya. Pada 2010 produksi gula sebanyak 2,28 juta ton
dan 2011 sekitar 2,26 juta ton. Tebu yang tidak bisa ditebang tepat waktu dan
sulit dirawat selama hujan pada tahun berjalan bisa menurunkan hasil gula tahun
berikutnya.
Siklus anomali iklim tampaknya makin
pendek. Bila sebelumnya musim hujan panjang terjadi 1998 kemudian berulang 2010
atau 12 tahun kemudian, kini pengulangan hanya dalam kurun 3 tahun.
Perubahan iklim di wilayah Indonesia
tidak bisa diramalkan secara tepat jauh sebelumnya, karena sirkulasi atmosfer
regional yang sangat dinamis dan penuh ketidak pastian. Pada Pebruari 2013,
BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) memprediksikan kemarau
berjalan normal. Namun akhir Mei prediksi BMKG direvisi dengan perkiraan hujan
akan turun hingga Agustus. Minggu lalu BMKG memperkirakan hujan di sebagian
besar wilayah Indonesia akan lebih maju dibandingkan rata-rata periode 30 tahun
terakhir atau kurun 1981-2010.
Informasi diatas membuat petani tebu
dan PG sulit melakukan antisipasi dengan baik. Kemarau yang kini mulai
berlangsung sebenarnya diharapkan bisa lebih panjang, supaya giling tebu
berjalan optimal. Saat ini pun recovery tebu belum mulai tampak. Tebu
yang digiling masih terimbas hujan abnormal yang turun sebelumnya. Setidaknya
masih perlu beberapa minggu lagi agar rendemen kembali naik dan giling PG
berjalan normal.
Dalam rangka memperkirakan kondisi
iklim pada sisa musim giling tahun ini, serta antisipasinya agar tidak
berdampak besar terhadap penurunan produksi gula tahun depan, pada tanggal 24
September 2013 di Surabaya, Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI)
mengadakan Diskusi Terbatas dengan topik “Anomali Iklim 2013: Dampaknya
terhadap Penurunan Produksi Gula dan Antisipasinya”.
Diskusi dihadiri oleh
sekitar 40 orang peserta, yang terdiri dari peneliti dan pemerhati gula, ahli
iklim pertanian, pejabat pemerintah, serta para praktisi pergulaan.
Dampak
Hujan
Kemarau basah- yang ditandai dengan
kembalinya hujan turun saat memasuki kemarau hingga Agustus- menimbulkan
berbagai persoalan dan menambah beban bagi petani dan PG. Ongkos tebang dan
angkut tebu naik, biaya prosesing gula membengkak, sementara gula yang
dihasilkan berkurang. Keuntungan petani dan PG pasti turun dan bahkan mengalami
kerugian.
Dalam guyuran hujan, penebangan dan
pengangkutan tebu relatif sulit dan mahal. Kebun dan jalan yang becek
menyulitkan mobilitas angkutan tebu. Sedikitnya dibutuhkan tambahan ongkos Rp
2.000 per kuintal untuk menebang dan mengangkut tebu ke pabrik gula (PG). Belum
lagi kemampuan penebang merosot. Bila dalam sehari seorang penebang tebu mampu
menebang 1 ton, pada saat hujan paling banyak hanya dua pertiganya.
Jumlah tebu yang bisa digiling PG
dibawah kapasitas normal, karena tebu yang bisa ditebang dan diangkut hanya
yang berada di pinggir-pinggir jalan. Tebu yang sulit diakses kendaraan
pengangkut dibiarkan berdiri menunggu kemarau tiba. Pada kondisi seperti itu,
kemasakan, kesegaran dan kebersihan tebu pasti terabaikan. Banyak tebu muda terpaksa
harus ditebang guna memenuhi kecukupan giling. Kotoran yang terbawa dalam tebu
seperti tanah, daun, pucuk, sogolan, bertambah melampaui batas maksimal 5%.
Tebu pun digiling dalam kondisi layu karena baru tergiling lebih dari 36 jam
sejak ditebang.
Di sisi lain, PG tidak bisa
beroperasi normal. Kekurangan tebu menyebabkan giling tersendat, kadang
berhenti berhari-hari. Ampas tebu yang dihasilkan tidak cukup untuk bahan bakar
boiler karena kebanyakan tebu berumur muda dan PG beroperasi dbawah kapasitasnya.
Suplesi energi dari luar seperti minyak residu, kayu, seresah dan sebagainya,
melonjak tajam.
Hujan juga akan menurunkan kadar gula
tebu atau rendemen. Proses pembentukan gula di batang tebu terhambat dengan
turunnya hujan. Data hingga minggu kedua September menunjukkan rata-rata
rendemen lebih rendah 0,5-1 poin dibanding kurun yang sama tahun lalu. Bila
tahun lalu rendemen sudah mencapai 7,5%, kini masih sekitar 6,5%. Banyak tebu
menjadi “tua” dini dan menuju kematian karena drainase kebun terganggu.
Pembungaan semarak dimana-mana. Tebu “tua” dini dan berbunga tak banyak membawa
gula, bahkan terus menguras cadangan gula yang ada.
Anomali iklim tahun ini tampaknya
bukan hanya menyangkut hujan, tetapi juga suhu. Perbedaan suhu malam dan siang
pada kondisi normal umumnya > 8 oC,
namun kini di beberapa wilayah hanya sekitar 7-8oC,
sehingga proses pembentukan gula tidak optimal dan rendemen cenderung rendah.
Dengan gambaran
seperti di atas, pada tahun ini produksi gula nasional diperkirakan turun
10-20% dibanding produksi 2012 atau kira-kira maksimum hanya 2,3 juta ton.
Produksi sebanyak itu baru mencukupi 40% kebutuhan gula nasional. Swasembada
gula tampaknya hanya sekedar asa dan masih jauh untuk direngkuh.
Derita
Terus Melanda
Petani tebu dan PG tak reda dirundung
derita. Ketika awal musim giling diiringi hujan berkepanjangan, pada Juni lalu
atau memasuki bulan kedua masa giling pemerintah mengumumkan kenaikan BBM.
Dampaknya kenaikan biaya di semua lini semakin menjadi-jadi.
Harga gula yang diharapkan jadi
penyelamat malah cenderung turun hingga Rp 9.200 per kg. Padahal sebelumnya
harga gula diatas Rp 11.000 per kg. Gula rafinasi yang terus banjir ke pasar,
ikut menekan harga gula. Permintaan petani tebu menjelang awal giling agar harga
pokok produksi (HPP) gula ditetapkan Rp 9.800 per kg tampaknya tidak direspon
pemerintah. HPP tahun ini sama dengan tahun lalu, sebesar Rp 8.150 per kg.
Lengkap sudah derita petani tebu dan PG. Tahun ini mereka mungkin tak bakal
bisa mencicipi manisnya gula tebu.
Derita petani tebu kelihatannya harus
dibayar mahal karena biasanya akan diikuti turunnya animo mereka bertanam tebu.
Data empiris memperlihatkan turunnya harga gula yang berimbas kepada kerugian
petani (baca: penurunan keuntungan), akan diikuti penyusutan area tebu,
khususnya di wilayah yang sangat tergantung kepada tebu rakyat seperti Jawa
Timur. Pada 2002 ketika harga gula di Jawa Timur turun dari Rp 3.400 menjadi Rp
2.600 per kg, area tebu 2003 menyusut 11 ribu ha. Sebaliknya pada kurun 2003-2008
ketika rata-rata harga gula naik rata-rata 15% per tahun, area tebu bertambah
51 ribu ha. Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia dan
hampir sepenuhnya tergatung kepada area tebu petani.
Selain itu, penurunan area akibat
harga selalu diikuti dengan penurunan produktivitas tanaman karena petani
enggan memelihara tebu dengan baik. Kembali ke contoh Jawa Timur, dengan
turunnya harga pada 2002, rata-rata hasil gula per ha merosot dari 5,27 ton
menjadi 5,17 ton. Sebaliknya ketika harga gula naik pada kurun 2003-2008,
rata-rata hasil gula per ha meningkat dari 5,17 ton pada 2003 menjadi 6,20 ton
pada 2008. Produksi gula di provinsi tersebut tumbuh 61% atau bertambah 475
ribu ton.
Antisipasi
Dengan kemungkinan kemarau
berlangsung pendek dan musim hujan segera tiba, maka tahun ini petani dan PG
harus bersama-sama mengoptimalkan sisa waktu giling. Secara umum perbaikan
tanaman untuk sisa giling tahun ini relatif sulit dilakukan karena tanaman tebu
sudah besar pada kisaran umur 10-12 bulan. Gula yang ada di tanaman tebu harus
bisa diambil sebanyak-banyaknya. Perbaikan manajemen dalam tebang muat angkut
tebu dan operasional PG harus menjadi perhatian. Giling PG diupayakan berjalan
lancar sesuai dengan kapasitasnya. Keajegan pasok tebu MBS (masak, bersih dan
segar) harus dijaga dan kondisi PG harus benar-benar prima. Bila dimungkinkan,
penggunaan zat pemacu kemasakan bisa dipergunakan.
Namun yang juga perlu
mendapatkan perhatian adalah perawatan tanaman tebu, baik plant cane maupun
ratoon, untuk keperluan bahan baku giling tahun 2014. Anomali iklim
tahun 2010 yang berimbas kepada produksi gula tahun 2011, harus dijadikan
pelajaran dalam menyiapkan tanaman sehingga dampak hujan berkepanjangan tahun
2013 terhadap penurunan produksi gula 2014 bisa diminimalkan.
Secara teknis, upaya antisipasi
menyiapkan tebu giling 2014 tidak bisa digeneralisir, tetapi harus disesuaikan
dengan kearifan dan kondisi lokal. Beberapa antisipasi yang merupakan hasil sharing
informasi dan pengalaman dari para praktisi mencakup: pengeprasan segera
setelah tebang agar tunggul tidak busuk; pengendalian gulma sesegera mungkin
sebelum hujan tiba; pemupukan tepat waktu, dosis dan cara; pemberian kompos
pada takaran yang memadai; perbaikan sistem patusan (drainase); penataan
varietas; penghentian giling saat musim hujan mulai datang dan sebagainya.
Hal penting yang perlu diingat bahwa
gula dibentuk di kebun. Kontribusi kualitas tanaman terhadap rendemen sekitar
85%, sementara kontribusi pabrik hanya sekitar 15%. Oleh karena itu, menyiapkan
bahan baku berkualitas baik dan membawanya ke pabrik dalam kondisi MBS
merupakan tahapan penting dan krusial. PG pun harus bisa mengolah tebu tersebut
secara efektif dan efisien.
Perbaikan kualitas tanaman dilakukan
dengan menerapkan best management practices di sektor budidaya mulai
dari pemilihan benih yang sehat, murni & produktif, ketepatan pemilihan
varietas dan masa tanamnya, pengolahan tanah, perawatan tanaman, hingga
pengangkutannya ke pabrik.
Bagi PG yang sangat tergantung kepada
pasokan tebu rakyat, antisipasi terhadap anomali iklim ini perlu usaha lebih
keras. Area tebu yang terpencar pada luasan yang sempit menyebabkan pengelolaan
kebun tidak berjalan optimal. Namun pepatah mengatakan “pengalaman adalah guru
yang terbaik”. Peristiwa hujan selama giling tebu yang pernah terjadi
sebelumnya harus dijadikan pelajaran dalam melakukan antisipasi yang tepat
sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah.
Siklus anomali iklim yang kian
pendek, perlu terus diwaspadai. Dalam jangka panjang diperlukan varietas tebu
unggul yang mampu menghasilkan gula tinggi pada berbagai kondisi abnormal
seperti hujan atau kering berkepanjangan, genangan atau drainase buruk, minim
perawatan, solum tanah tipis, kadar garam tinggi dan sebagainya. Data base
iklim dengan memuat parameter suhu, curah hujan, kelembaban dan penyinaran
matahari, di wilayah perkebunan tebu perlu dibangun, sehingga setiap perubahan
iklim yang terjadi dan dampaknya terhadap pertumbuhan tebu bisa segera
diketahui.
Perubahan iklim memang sulit
diprediksi dengan pasti. Dalam skala luas, iklim juga tak bisa dimanipulasi.
Karena itu, bersahabat lebih dekat dengan iklim dan berusaha mengenal gejala
dan perilakunya, mungkin bisa menjauhkan kita dari dampak negatif yang
ditimbulkannya. Meminjam gejala Vickynisasi yag sedang populer,
sepertinya kita perlu melakukan konspirasi kemakmuran dengan iklim
supaya terhindar dari labil ekonomi.
Surabaya, 24 September 2013
Aris Toharisman
Referensi : Rumusan
Diskusi Terbatas “Anomali Iklim 2013” (P3GI, Sept 2013)
Berita /
Link terkait Anomali Iklim :
1. Produksi Gula Nasional Diprediksi Turun 10-20 Persen (antarjatim.com)
2. Anomali Cuaca Sendat Produksi Gula (kabarjatim.com)
2. Anomali Cuaca Sendat Produksi Gula (kabarjatim.com)
0 komentar:
Posting Komentar